Proses distribusi keadilan bukan hal yang mudah. Proses ini sangat berkaitan dengan karakter akhlak manusia. Hukum berada, bekerja dan bersama dengan hidup manusia itu sendiri, manusia adalah kunci dari hukum. Akhlak manusia yang menentukan bagaimana keadilan itu dapat terdistribusikan dengan baik atau tidak. Untuk ini gagasan hukum profetik menjadi sebuah epistemologi atau metodologi menjalankan keadilan hukum.
Hukum bukanlah sebuah entitas yang diam, ia bergerak dalam beragam masa, sejak penciptaan manusia menuju dunia modern yang syarat mekanika dan nilai, hingga memasuki sebuah zaman yang membuang semua tatanan nilai dalam kebebasan era postmodern.
Dunia era postmodern menjadi hal menarik untuk dilihat. Dunia postmodern adalah dunia yang mengutamakan pada kecepatan. Teknologi Informasi menjadi senjata dalam proses sosial, semua terkoneksi melalui jaringan teknologi media sosial. Teknologi informasi yang dihadirkan mampu menciptakan simulacrum dan hiperealitas. Jean Baudrillard menjelaskan bahwa realita yang dihadirkan melampuai realita yang sesungguhnya (hiperealitas). Hiperealita membaurkan antara kepalsuan dan kebenaran, dusta sulit dibedakan dengan kebenaran. Kesemuanya melebur dalam sebuah realita yang diciptakan, disimulasi, dicitrakan, dibentuk dalam sebuah proses sosial. Ia mereproduksi beragam kebenaran.
Setiap orang hanya mampu melihat tanda yang dihadirkan oleh sebuah simulasi yang diciptakan dan dibentuk yang sesungguhnya apa yang disimulasi dan dibentuk itu melampaui kebenaran yang sesungguhnya.
Teknologi informasi dan media sosial menjadi sarana membentuk simbol citra yang diikehendaki. Semua dikemas dan dibentuk oleh sebuah jaringan sarana sosial media yang disebarkan secara massif. Inilah dunia yang didekonstruksi, ketika kebenaran menjadi kabur, setiap orang begitu sulit membedakan antara kenyataan dan kepalsuan, antara kebenaran dan dusta. Kesemuanya berbaur dalam sebuah kemasan yang tersimulasi oleh sebuah kemasan realita yang berlebih.
Sebuah Hiperrealita dalam seperangkat teknologi informasi media sosial terbungkus oleh telepon selular yang kita genggam kemanapun. Ia mempengaruhi cara kita berfikir dan bertindak, menggiring manusia pada apa yang dikehendaki oleh kemasan-kemasan hiperealita.
Dunia postmodernis yang terdekonstruksi, ketika semua berbaur dan sulit memisah fakta realita dan kemasan simulacrum, maka setiap pribadi pengemban hukum memiliki kewajiban untuk menyampaikan kebenaran, mendidik kembali, menarik kembali manusia dalam dunia realita yang sesungguhnya.
Disinilah selayaknya gagasan Hukum Profetik sebagai sebuah epistemologi ilmu hukum menjadi momentum untuk mengembalikan manusia. Saatnya bagi hukum untuk merekonstruksi hiperealita menjadi realita dan kebenaran, dengan mengembalikan akal budi juga kebeningan nurani. Gagasan ini tidak lepas dari 4 karakter kenabian yang ada di dalam diri manusia pengemban hukum: kebenaran (shiddiq), penyampaian (tabligh), amanah (amanah), dan kecerdasan (fathonah).
Gagasan Hukum Profetik diawali oleh karakter Shiddiq yang bermakna kebenaran. Menjalankan hukum di tangan orang yang benar, Right law on the right man. Sehebat apapun substansi hukum harus dijalankan oleh orang yang tepat. Paham akan ilmu hukum, paham pula bagaimana ia menjalankan dan menerapkan hukum. Hukum seyogyanya berpijak pada kebenaran dan bukan hiperrealita yang tercipta dalam ruang postmodernis. Kebenaran itu tidaklah tersimulasi oleh proses-proses bebas nilai (free values), melainkan terikat oleh nilai dan norma. Ia terikat oleh kehendak-kehendak illahiah dalam dirinya walau ia tak menyadarinya. Sebuah dimensi dimana Tuhan tidak pernah melepaskan semua makhluk dalam beragam enititasnya.
Norma Hukum adalah produk dari sebuah nilai keadaban manusia. Ia mengawal, menciptakan ruang-ruang yang adil dalam proses hidup manusia. Kebenaran walaupun mengalami proses perubahan, ia tidaklah bebas nilai. Kebenaran akan berubah dalam sebuah relativitas ruang dan waktu, tetapi ia terkawal oleh nilai dan norma. Norma mengarahkan setiap perubahan kebenaran secara dinamis, ketika perubahan tak terkawal dan menjadi tak terkendali maka kehancuran sebuah peradaban akan terjadi.
Karakter kedua dalam konsep Hukum Profetik adalah Tabligh yang memiliki makna menyampaikan. Sebuah kebenaran hendaknya disampaikan, ia tidak disimpan, disembunyikan, untuk kepentingan apapun. Proses simulasi dalam dunia yang penuh dengan rangkaian narasi-narasi hiperealita dikembalikan dengan menghadirkan fakta melalui pesan-pesan norma yang mendidik. Kegunaan hukum yang tersampaikan ini berfungsi agar substansi norma hukum dapat diketahui sbg pengendali dan pedoman etik bertingkah laku manusia dalam sebuah arena sosial. Dalam proses penyampaian ini terdapat metode-metode penyampaian, agar pesan sebuah norma dapat tersampaikan secara baik juga etis pada sejumlah manusia.
Ketika semua orang telah terjebak dalam dunia simulacrum maka hukum mengarahkan manusia melalui perilaku etis, sebagaimana Musa a.s. yang diperintahkan menyampaikan kebenaran Tuhan kepada seorang Fir’aun (Pharao). Musa a.s. diperintahkan menyampaikan secara lemah lembut (Qs.[20]:43–44). Menyampaikan sebuah kebenaran dibungkus dengan metode penyampaian yang indah dan menyejukkan siapapun yang mendengarnya. Ia menyampaikan dengan kata, maupun menyajikan melalui perilaku etik. Menyampaikan idealita kebenaran dengan nilai dan adab dan keramahan bukan kemarahan.
Ketika berjumpa dengan yang tidak memahami sebuah kebenaran hukum, maka ia tidak lekas menghukum. Sebuah sanksi dalam ikatan norma hukum diletakkan dalam posisi terakhir, tidak disegerakan di awal. Untuk itu sebuah azas fiksi dapat disimpangi ketika seseorang tidak mengetahui sebuah keberlakuan hukum. Sebelum hukum diberlakukan, maka setiap subjek sudah harus dipastikan memahami akan sebuah keberlakukan norma hukum. Hukum seyogyanya menciptakan sebuah pemahaman etis, bukan semata menghadirkan kerasnya sanksi.
Menyampaikan kebenaran di tengah sekelompok manusia yang telah tersimulasi bukan hal yang mudah. Manusia yang telah meyakini sebuah kebenaran yang terdekonstruksi. Ia tidak sekedar memahami tetapi telah meyakini kebenaran hiperealita. Hukum perlu disampaikan dengan menghadirkan serangkaian fakta, tetapi juga rangkaian perilaku etis sebagai sebuah contoh dan tauladan oleh sang penyampai. Untuk itu ia hanya dapat disampaikan oleh orang yang amanah lagi cerdas.
Karakter Hukum Profetik berikutnya adalah Amanah. Seorang pengemban amanah hukum haruslah memiliki karakter amanah yang kuat. Ia dapat dipercaya bahwa ia akan melaksanakan kewajibannya. Hukum hanyalah narasi preskripsi semata ketika ia dijalankan oleh orang tak amanah walau ia berilmu. Dengan ilmu tinggi ia dapat menyalahgunakan hukum dan merugikan banyak orang.
Seorang yang amanah adalah seseorang yang memahami segenap ilmu beserta rangkaian metode juga adab dan perilaku. Bukan sembarang orang yang dapat mengemban amanah, ia adalah manusia yang dipilih untuk melakukan serangkaian perubahan dalam dunia simulacrum dimana setiap kebenaran telah terdekonstruksi. Amanah tidaklah diminta, ia hadir sebagai bentuk tugas untuk menyampaikan pesan-pesan kebenaran oleh orang yang mampu menyampaikan.
Karakter terakhir dalam Konsep Hukum Profetik adalah Fathonah, yang bermakna kecerdasan. Hukum bukan sekedar narasi preskriptif, tetapi ia harus dijalankan oleh orang yang cerdas dengan cara yang cerdas. Tidak sekedar menjalankan norma, tetapi ia juga mampu dengan kecerdasannya kapan ia harus menghukum dan kapan harus menahan hukum untuk sementara waktu tertentu. Tanpa kecerdasan, hukum hanya akan menjadi sosok yang menakutkan bagi siapapun. Ia bagai pedang yang menebas siapapun. Hukum harus dijalankan dengan kecerdasan. Ketika Madinah berada dalam resesi ekonomi, maka Umar ibn Khattab selaku Khalifah tidak serta merta memberlakukan hukum potong tangan bagi para pencuri. Hukum ditahan tidak dijalankan untuk sementara waktu menunggu keadaan ekonomi pulih kembali.
Kecerdasan tidak saja meliputi kemampuan akal, tetapi juga kecerdasan spiritual. Taraf akal dalam epistemologi ilmu pengetahuan adalah anak tangga pertama dari ketiga anak tangga ilmu pengetahuan hukum. Ilmu Hukum masih memiliki anak tangga kecerdasan yang lebih tinggi yaitu kecerdasan spiritual untuk tidak terjebak dalam proses simulacrum yang acapkali menyesatkan akal budi manusia.
Seorang yang cerdas tidak sekedar hadir dengan kata-kata, ia hadir dengan kemampuan dan kecerdasan metodologis. Ia terkadang tidak hadir dalam bentuk ahli hukum ataupun pendakwah, melainkan dapat saja hadir dalam wujud-wujud seorang penari, penyanyi, dan beragam karakter antropologis lainnya sesuai dengan lingkup sosio-kulturalnya. Forma bentuk menjadi sarana untuk menyampaikan kebenaran hukum.
Inti dari keempat hal tersebut di atas adalah al amin (terpercaya). Seorang pelaksana dan pengemban hukum adalah orang yang terpercaya. Hukum dijalankan oleh manusia yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi di tengah komunitasnya. Siapapun dapat belajar hukum, tetapi tidak setiap orang dapat dipercaya menjalankan hukum. Hukum adalah untuk kepentingan manusia, dan untuk itu ia ada.
Gagasan hukum profetik yang terdiri atas 4 nilai karakter hukum di atas bukanlah sebuah gagasan baru, melainkan sebuah gagasan klasik yang telah dijalankan pada era Kenabian dan para Khulafaurrasyidin. Kini gagasan klasik itu perlu kita reaktualisasi di era postmodernism abad 21 yang cenderung kering akan gagasan spiritualisme. Ini merupakan sebuah gagasan tentang akhlaq sekaligus kecerdasan manusia sebagai pengemban hukum yang sudah menjadi diskursus para pemerhati dan ilmuwan hukum.
Kita acapkali tergerak melakukan proses dekonstruksi pemikiran tetapi kita juga acapkali lupa untuk melakukan proses rekonstruksi. Membongkar tanpa menyusun kembali sebuah wacana berfikir. Kini coba kita atur sebuah wacana klasik tentang hukum profetik yang sudah pernah dilaksanakan dan sudah dapat dilihat bagaimana hasil yang diperoleh untuk membentuk suatu masyarakat hukum di Madinah oleh Nabi Saw dan sahabat Khulafaurrasyidin. Sebuah nilai-nilai keagungan atas berjalannya sebuah hukum di bumi.
Penulis adalah Dosen Tetap Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia. Dosen tidak tetap Universitas Al Azhar Indonesia & STKIP Arrahmaniyah. Co-Founder Forum Internalisasi Nilai-NIlai Kebangsaan (FORNIKA). Founder & Peneliti pada Islamadina Institute.
WRITTEN BY