ANALISA REGULASI BERDASARKAN NILAI PANCASILA
Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi
Sebelum kita masuk pembahasan marilah kita simak artikel berikut :
Pancasila merupakan falsafah bangsa dan ideologi negara. Dalam hirarki peraturan perundang-undangan, Pancasila berada pada posisi tertinggi sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Demikian dikatakan Ketua Umum Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN) Bob Hasan dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com, ditulis Senin (2/6/2018).
Hal itu dijelaskan dalam pasal 2 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”. Hal itu diperkuat dengan azas hukum tata negara yang menjelaskan, dalam bidang hukum, Pancasila merupakan sumber hukum materil, sehingga setiap isi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila yang terkandung dalam Pancasila.
“Selain itu, posisi Pancasila juga diperkuat dengan Tap MPR No III/MPR/2000 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi, “sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945,” jelas dia.
Sayangnya, sesal Bob, pasca amandemen, banyak batang tubuh di dalam UUD 1945 yang diubah dan tidak sesuai dengan Pancasila. Akibatnya banyak produk Undang-undang yang dihasilkan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Sebut saja UU Migas, UU Penanaman Modal Asing dan lain-lain.
“Pancasila harus menjadi hierarki tertinggi, agar Undang-Undang yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila gugur. Karena dalam tata hierarki perundang-undangan, UU yang dibawah tidak boleh bertentangan dengan yang d iatas,” kata dia lagi. kedaipena.com .
Memang benar apa yang dikatakan oleh Bob Hasan bahwa Pancasila adalah sumber hukum tertinggi di negeri ini.
Hal itu dijelaskan dalam pasal 2 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”. Hal itu diperkuat dengan azas hukum tata negara yang menjelaskan, dalam bidang hukum, Pancasila merupakan sumber hukum materil, sehingga setiap isi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila yang terkandung dalam Pancasila.
“Selain itu, posisi Pancasila juga diperkuat dengan Tap MPR No III/MPR/2000 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi, “sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Sayangnya, sesal Bob, pasca amandemen, banyak batang tubuh di dalam UUD 1945 yang diubah dan tidak sesuai dengan Pancasila. Akibatnya banyak produk Undang-undang yang dihasilkan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Sebut saja UU Migas, UU Penanaman Modal Asing dan lain-lain.
“Pancasila harus menjadi hierarki tertinggi, agar Undang-Undang yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila gugur. Karena dalam tata hierarki perundang-undangan, UU yang dibawah tidak boleh bertentangan dengan yang d iatas,” kata dia lagi.
Demikian juga dikatakan oleh pakar dan pengamat lain di antaranya Ketua PSP UGM Prof. Dr. Sudjito, Tokoh Masyarakat Prof. Dr. Ahmad Safii Maarif, Guru Besar Ilmu Filsafat UGM Prof. Dr. Kaelan, dan Sosiolog UGM Prof. Dr. Sunyoto Usman, bahwa UUD 1945 yang mengalami amandemen empat kali dinilai tidak berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Pasalnya ditemukan inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antarpasal dan ayat dalam undang-undang tersebut. Akibatnya, negara terjebak pada kekuasaan oligarki, praktik penyelenggaraan lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, namun mengabaikan pembangunan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama.
Dari wacana di atas kita menjadi tahu dan ngeh bahwa undang undang atau regulasi yang ada sekarang ini sudah banyak yang tidak konsisten bahkan antara pancasila dan uu atau regulasi yang ada melenceng dari nilai nilai pancasila kita ambil contoh uu minerba dan penanaman modal asing sangat jauh dari asas keadilan yang dicita citakan dalam sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Maka jangan heran jika jauh panggang daripada api antara uu regulasi yang ada sekarang ini.
jika disandingkan dari sumber nilai dan falsafah pancasila serta konstitusi yang merupakan terjemah konkrit dari nilai falsafah luhur pancasila. Dan inilah yang dimaksud dengan penyimpangan kontstitusi. Dan itu bukanlah hal yang baru karena siapapun pemimpinnya mereka adalah manusia.
Adapun konsep yang mereka ajukan adalah memang konsep yang sempurna namun sebagai manusia warga yang banyak kelemahan dalam menjalankan kendali pemerintahan pasti ada alpa dalam penerapannya.
Dan yang perlu dicatat adalah tetap menjadi tugas kita para anak bangsa untuk selalu mengkoreksi penyimpangan penyimpangan itu dan menyuarakannya secara kritis tanpa mencela dan tetap konstitusional. Mari kita luruskan arah kiblat bangsa ini agar tetap berarah pada nilai nilai luhur pancasila dan uu bri 1945. Dalam sejarahnya ada penyimpangan itu. Mari kita simak sebagai berikut :
Sejarah penyimpangan terhadap konstitusi
a. Penyimpangan terhadap UUD 1945 periode 18 Agustus 1945-27 Desember1949
( Keluarnya Maklumat Wakil Presiden nomor x telah mengubah fungsi KNIP dari pembantu
menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut serta menetapkan GBHN sebelum
MPR, DPR, dan DPA terbentuk. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 4 aturan peralihan
yang berbunyi “sebelum MPR, DPR dan DPA terbentuk, segala kekuasaan dilaksanakan oleh
presiden dengan bantuan komite nasional
( Keluarnya maklumat pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 yang merubah sistem
pemerintahan presidensial menjadi sistem parlementer, hal ini bertentangan dengan pasal 4
ayat 1 dan pasal 17 UUD 1945
b. Penyimpangan terhadap konstitusi RIS
( Negara Kesatuan RI berubah menjadi negara federasi Republik Indonesia serikat (RIS)
( Kekuasaan legislatif yang seharusnya dilaksanakan presiden dan DPR dilaksanakan DPR dan
senat
c. Penyimpangan terhadap UUD Sementara
( Terjadi praktek adu kekuatan politik, akibatnya dalam rentang waktu 1950-1959terjadi tujuh kali
pergantian kabinet
( Ada pertentangan tajam dalam konstituante yang merembet ke masyarakat. Termasuk partai
politik
d. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa ORLA
( Presiden sudah mengeluarkan produk peraturan dalam bentuk penetapan presiden dan hal ini
tidak dikenal dalam UUD 1945
( MPRS dengan ketetapan no. 1/MPRS/1960 telah menetapkan pidato presiden tanggal 17
Agustus 1959 yang berjudul penemuan kembali revolusi kita sebagai GBHN yang bersifat tetap
( Pimpinan lembaga-lembaga negara diberi kedudukan sebagai menteri-menteri negara yang
bersrti menempatkanya sejajar dengan pembantu presiden
( Hak budget tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 pemerintah tidak mengjukan RUU APBN
untuk mendapat persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan
( Tanggal 3 Maret 1960 melalui penetapan presiden no. 3 tahun1960, presiden membubarkan
anggota DPR hasil pemilu 1955, kemudian melalui penetapan presiden no. 4 tahun 1960
dibentuklah DPR gotong royong
( MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup melalui ketetapan no.
III/MPRS/1963.
e. Penyimpangan terhadap UUD 1945 masa ORBA
( MPR berketetapan tidak akan melakukan perubahan terhadap UUD 1945, hal ini bertentanngan
dengan pasal 3 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk menetapkan UUD
dan GBHN, serta pasal 37 UUD 1945 yang memberikan kewenangan pada MPR untuk mengubah
UUD 1945
( pasaMPR mengeluarkan ketetapan MPR no. 4/MPR/1983 tentang referendum yang mengatur
tatacara perubahan UUD 1945 yang tidak sesuai dengan l 37 UUD 1945
( Terjadi pemusatan kekuasaan di tangan presiden sehingga pemerintahan dijalankan secara
otoriter
( Berbagai lembaga negara tidak berfungsi sebagaimana mestinya hanya melayani keinginan
pemerintah
( Pemilu dilaksanakan tidak secara demokratis, pemilu hanya sebagai sarana untuk mengukuhkan
kekuasaan presiden, sehingga presiden terus menerus terpilih kembali
( Terjadi monopoli penafsiran Pancasila, Pancasila ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah untuk
membenarkan tindakan-tindakan pemerintah
( Pembatasan hak-hak politik rakyat seperti hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat
( Pemerintah ikut campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman
( Pembentukan lembaga-lembaga yang tidak terdapat dalam konstitusi ( Kopkamtib yang
kemudian menjadi Bakorstanas
( Terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme yang luar biasa parahnya sehingga merusak segala aspek
kehidupan bangsa
Penyimpangan terhadap UUD 1945 setelah amandemen
( Sering terjadi pemaksaan kehendak melalui cara-cara kekerasan
( Korupsi semakin membudaya dan kebanyakan dilakukan oleh pejabat negara
( Pembodohan politik masih berlaku
e. Penyimpangan terhadap UUD 1945 setelah amandemen era reformasi
(Sering terjadi pemaksaan kehendak melalui cara-cara kekerasan
(Korupsi semakin membudaya dan kebanyakan dilakukan oleh pejabat negara
(Pembodohan politik masih berlaku.
Berikut Produk undang undang atau regulasi yang melenceng dari nilai pancasila dan uud nri 45 :
1. UU Minerba.
Pasal-pasal yang mengatur tentang tugas dan fungsi Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
2. Pasal 7 ayat ( 4) UU Rumah Sakit .
Bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan, kecuali rumah sakit publik yang diselenggarakan oleh badan hukum bersifat nirlaba”.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan seluruh rumah sakit yang telah didirikan oleh badan hukum swasta yang bersifat nirlaba, seperti perkumpulan atau yayasan telah mendapatkan izin dari pemerintah sebelum diberlakukan UU Rumah Sakit ini tetap sah dan harus diperpanjang izinnya.
3. Tentang UU Ormas,
bertentangan dengan alasan, yakni pertama, pengkerdilan makna kebebasan berserikat melalui pembentukan UU Ormas. Kedua, pembatasan kemerdekaan berserikat yang berlebih-lebihan. Ketiga, pengaturan yang tidak memberikan kepastian hukum. Dan keempat, turut campur pemerintah dalam penjabaran kemerdekaan berserikat.
4. UU Penanaman Modal Asing.
Aturan perlakuan sama bagi penanam modal dalam negeri dan asing dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dinilai sangat merugikan kepentingan nasional. Perlakuan setara itu menyebabkan kedudukan modal asing menjadi semakin dominan atas Indonesia. akibatnya pedagang lokal kalah saing dengan interlokal, Salamuddin Daeng, Peneliti Institute for Global Justice, menyatakan aturan perlakuan sama tersebut menghambat kemampuan perkembangan industri nasional. Padahal, Indonesia masih dalam tahap negara berkembang yang berupaya meningkatkan kemampuan dalam negeri. hukumonline.com .
“Sama sekali tidak memberikan dorongan bagi industri dalam negeri berkembang,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Senin (14/11).
Lebih jauh, Salamuddin menganggap pasal ini bertentangan dengan semangat kepemilikan negara di UUD 1945. Pasal 33 Ayat (2), mengamanatkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Kemudian, ayat (3) pasal sama mengatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan secara maksimal untuk kepentingan rakyat.
Sementara, tuding Salamuddin, UU No. 25 Tahun 2007 mendorong minimalisasi peran negara dan tidak ‘menjaga’ pemodal dalam negeri. Hal ini, ujarnya, tercermin dalam Pasal 6 ayat (1) UU tersebut.
Pasal 6 :
"Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
5. Tentang Pemusatan Kekuasaan(Eksekutif-legislatif-yudikatif bukan pada MPR yang merupakan manifestasi kedaulatan rakyat).
Pasal lainnya, seperti Pasal 1 ayat (1) menyebutkan Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik, lalu pada ayat 2 Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Namun berdasarkan sistem demokrasi hasil amandemen, kekuasaan eksekutif dan legislatif, menunjukkan representasi kekuasaan rakyat berhenti pada presiden, DPR dan DPD. Menurut Kaelan, jika kedaulatan rakyat berhenti pada presiden dan DPR maka tujuan negara tentang kesejahteraan sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila akan mustahil terwujud..
6. Pemilu Langsung Rawan Konflik di akar rumput.
Selain itu pada pasal 22E UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan Umum juga menunjukkan kontradiksi, dimana proses demokrasi berprinsip liberalisme-individualisme, karena semua dilaksanakan secara langsung berdasarkan pada prinsip matematis tanpa memberi ruang musyawarah dan mufakat. Pemilu yang kita anut sekarang adalah konsep liberal-individu (one man one vote) sangat rawan konflik akar rumput karena yang dikejar oleh para calon adalah suara per-orang bukan senat yang memilih. Disinilah politik uang tumbuh subur dan menghalalkan segala cara serta politik identitas dimainkan oleh para calon dengan menghalalkan segala cara. Hal ini jelas melanggar asas demokrasi permusyawaratan perwakilan.
7. Tentang perekonomian rakyat(mengarah pada ekonomi liberal).
Pasal 33 ayat 5 dinyatakan bahwa perekonomian diselenggarakan berdasar asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi. Hal ini bertentangaan dengan pasar rakyat dan ekonomi kerakyatan. Karena seorang pemilik modal atau cukong bisa memiliki pasar rakyat yang seharusnya dimiliki oleh banyak orang hanya dengan alasan ‘efisiensi.’ Artinya pasar modern dan mini market telah menjugkir balikkan pasar rakyat dengan seorang pemilik modal.
Kaelan mencontohkan beberapa pasal UUD 1945 misalnya, ayat 4 pada pasal 33 yang mengatur perekonomian Indonesia bertentangan dengan tiga ayat sebelumnya. “Yang intinya menyebutkan demokrasi ekonomi dan dalam prakteknya diterapkan ekonomi liberal. Pasal ini tidak koheren dengan pembukaan UUD 1945, Pancasila dan Pasal 1 UUD 1945,” katanya.
8. RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila).
Mungkin para perumus HIP tidak menyadari dengan menyatakan tujuan membuat Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila ini, sekaligus merupakan pengakuan, bahwa selama 75 tahun berdirinya Republik Indonesia yang seharusnya sudah berdasarkan Pancasila sebagai Landasan Filosofis dan Ideologi Negara. wibisono-gatra.com Ternyata para penyelenggara negara, termasuk DPR RI sendiri, tidak menggunakan Pancasila dalam menyusun dan menetapkan perencanaan dan sebagainya, sehingga sekarang, pada tahun 2020, perlu dibuat Undang-Undang yang mengatur Pancasila sebagai pedoman untuk para penyelenggara negara dan arah bagi seluruh warganegara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penduduk di Republik Indonesia tidak semua warga negara Indonesia, melainkan juga ratusan ribu warganegara asing yang tinggal di Indonesia sebagai pekerja atau karena alasan-alasan lain. Sebagai penduduk di Indonesia, dengan dicantumkannya warganegara dan “penduduk”, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia, mereka juga diharuskan menghafal Pancasila dan mengikuti arah yang ditetapkan oleh Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila.
Kesalahan pertama penyusunan RUU HIP adalah menggunakan rangkaian kata-kata “Ideologi Pancasila.” Dalam Empat Pilar MPR dinyatakan bahwa Pancasila adalah Ideologi Negara. Dengan demikian menulis Ideologi Pancasila adalah suatu pengulangan sehingga menjadi “Haluan Ideologi Ideologi.” Jadi seharusnya judulnya adalah “Haluan Pancasila (HP)” saja.
Arti kata Haluan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah:
1. Bagian perahu (kapal) yang sebelah muka,
2. Yang terdahulu atau terdepan,
3. Arah; tujuan,
4. Pedoman (tentang ajaran dan sebagainya) - negara arah, tujuan, pedoman, atau petunjuk resmi politik suatu negara; - politik arah atau tujuan politik.
Seperti tertulis di atas, dalam Pasal 1 disebutkan tujuan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila adalah sebagai “Arah bagi seluruh warganegara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.”
Mau digunakan yang manapun dari keempat penjelasan KBBI, menempatkan Pancasila sebagai haluan atau meletakkan Pancasila terdepan, atau menentukan arah/tujuan Pancasila atau mengarang pedoman Pancasila, semuanya salah.
Kelihatannya penyusun konsep HIP tidak memahami bahwa Pancasila berarti:
1. Landasan Filosofis Negara Kesatuan Republik Indonesia,
2. Ideologi Negara, dan
3. Merupakan sumber segala sumber hukum negara,
Mengenai Pancasila sebagai Landasan Filosofis dan Ideologi Negara sudah jelas sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila sebagai Ideologi Negara juga dicantumkan dalam Empat Pilar MPR.
Tanggal 12 Agustus 2011 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani Undang-Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 2 ditegaskan: “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum.”
Jadi semua hukum dan perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia bersumber dari Pancasila. Sekarang Pancasila akan diletakkan di depan atau mau dibuat arahnya. Dengan demikian, kalimat “Haluan Ideologi Pancasila” adalah suatu kontradiksi (Contradictio in terminis), atau rangkaian kata-kata yang saling bertentangan. Ini adalah kesalahan logika berpikir.
Kesalahan kedua, dan yang paling salah adalah membuat Undang-Undang untuk Pancasila. Sesuai dengan UU No. 12 tahun 2011, semua Undang-Undang letaknya di bawah Pancasila. Tidak ada dasar hukum di atas Pancasila yang dapat memberi legitimasi membuat Undang-Undang untuk Pancasila. Oleh karena itu, pemikiran yang sangat aneh akan membuat Undang-Undang untuk sumber segala sumber hukum negara Indonesia. Ini suatu kesalahan logika berpikir lagi. Oleh karena itu, sebaiknya pembahasan RUU HIP dibatalkan.
Kalau memang dipaksakan akan dilanjutkan dan berhasil menjadi Undang-Undang, maka DPR memunculkan kontroversi baru sehubungan dengan Pancasila. Setelah kontroversi penggunaan frasa “Pilar” oleh MPR untuk Pancasila, kini dimunculkan kontroversi oleh DPR mengenai kedudukan Pancasila dan membuat Undang-Undang untuk Pancasila.
Kritik dan Saran|
SOLUSI : MENGEMBALIKAN ARAH KIBLAT BANGSA
1. Mengembalikan arah kiblat bangsa bkn dengan demokrasi jalanan turun ke jalan| dengan cara inilah kita mengajukan judicial review atau peninjauan kembali uu atau regulasi bermasalah ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini disamping efektif juga konstitusional, karena sudah banyak uu yang berhasil direview serta direvisi bahkan dibatalkan dengan cara ini, di antaranya uu minerba, uu rumah sakit dan uu ormas. Usaha ini di antaranya dilakukan oleh kalangan akademisi dari ormas persyarikatan muhammadiyah yang dikenal dengan istilah jihad konstitusi.
2. Tetap kritis dengan terus mengkoreksi dan berusaha tidak buta informasi perkembangan regulasi nasional.
3. Mengedukasi generasi muda bunga bangsa untuk senantiasa menginternalisasikan nilai dan norma pancasila dalam segala sendi kehidupan.
4. Kenapa kita masih memakai uu kolonial padahal sudah 75 th kita merdeka dan kenapa produk hukum atau regulasi kita terkadang inkonsistensi dengan uud 45? apa para wakil rakyat kita tidak mampu membuat uu yang lebih bagus dan berkualitas dari uu kolonial?
Jawabannya satu. Selama masih ada kepentingan hawa napsu, syahwat politik dan angkara murka kita tidak akan dapat sampai pada hikmah kebijaksanaan sebagaimana dicontohkan para founding fathers dengan melahirkan uu yang berkeadilan sebagaimana dicita citakan sila kelima, karena selama ini produk uu yang dilahirkan adalah produk politik kepentingan bukan produk yang bersandar dan berpatokan pada moral. Penulis menilai hasil pemikiran amandemen UUD 1945 saat ini jauh menyimpang pada nilai-nilai Pancasila. Menurut saya, titik pangkal persoalan ada pada perilaku elit negara yang tidak bersikap negarawan. “Amandemen UUD itu karena ada euforia begitu rupa. Amandemen 4 kali itu tidak sehat, sarat emosional,”