Negara yang mengusung gagasan manusia yang mengakui Tuhan sebagai landasan dalam perikehidupan berbangsa. Itu tercermin dalam sebuah landasan Falsafah Pancasila, yang menyatakan tegas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Sila Pertamanya. Buya Hamka bahkan menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah urat tunggang Pancasila. Gagasan Pancasila tentang pengakuan atas eksistensi Tuhan YME ini meletakkan pengakuan atas Keesaan Tuhan sebagai jiwa bangsanya (volkgeist).
Manusia berTuhan yang mengakui Tuhan YME sebagai landasan hidup, adalah menolak segala penghambaan kepada selainNya. Pembebasan atas penghambaan manusia kepada selain Tuhan (khususnya faham materialisme) menjadi acuan falsafah utama negara ini.
Negara berTuhan yang menghendaki sebuah pembangunan manusia paripurna. Membangun sebuah konsep manusia yang berkarakter spiritual yang tinggi. Manusia yang selalu bergerak dinamis dalam lingkar kehendak Tuhan. Tuntutan terberat dari konsep Negara Monotesitik ini adalah tujuan pembangunan yang utama bukanlah sekedar diukur dalam hitungan rasionalitas ekonomi. Lebih jauh ia harus mampu memberikan banyak ruang bagi penciptaan pembangunan jiwa spiritual warganya, tanpa menghilangkan sisi pembangunan ekonomi sebuah bangsa.
Lalu pertanyaan terberat berikutnya adalah gagasan agung Pancasila yang meletakkan gagasan Negara Bangsa Berketuhanan ini membangun hukum-hukumnya. Struktur hukum seperti apakah yang dapat dihadirkan dalam ruang dinamis manusia bertauhid seperti ini? Negara monoteistik ini memerlukan sebuah dasar normatif yang mengacu kepada keseimbangan (mizan) antara spiritualitas dan rasionalitas manusia.
Hukum yang mampu melayani dua kepentingan antara gagasan Ketuhanan yang idealistik dengan gagasan dunia manusia yang rasional. Dalam Sila Kedua Pancasila tercermin dinamika gerak manusia yang penuh adab. Nilai kemanusiaan humanis yang dilahirkan oleh rahim berfikir Ketuhanan. Maka hukum yang diproduksi adalah hukum yang berada dalam keseimbangan (equlibrium) antara pemenuhan hak spiritual dan pemenuhan hak sosial ekonomi yang berkeadilan.
Bukan hal yang mudah untuk melakukan pembentukan norma perundangan dalam wujud eksistensi gagasan Ketuhanan dan Kemanusiaan dalam sebuah produk norma hukum. Gagasan Ketuhanan bukan menghadirkan sebuah gagasan hukum-hukum agama (syariah) semata, tetapi sebuah norma yang dihadirkan dalam bentuk pengakuan bangsa terhadap eksistensi dan jiwa berketuhanan. Terdapat sebuah gerak internalisiasi nilai ketuhanan dalam setiap penciptaan produk norma.
Gagasan Religio Humanis diawali dengan menghadirkan konsep-konsep berketuhanan, mengakui bahwa Tuhan adalah causa atas bergeraknya norma negara. Pengakuan negara terhadap gagasan religius untuk mengatur segenap perilaku etik berbangsa, dan diterapkan tidak sebatas ranah falsafah hukumnya tetapi hingga menyentuh ranah dogmatika hukumnya. Gagasan negara dalam norma Eropa sejak lama menolak eksistensi Tuhan dalam ruang-ruang hukum, karena Dia bergerak secara irasional dan tidak dapat dituangkan dalam bentuk norma negara. Ide Rasionalisme mutlak dalam proses pembentukan hukum menciptakan menolak peran-peran Ketuhanan dan menerapkan gagasan sekular dalam ranah bernegara (Lex Positivis).
Gagasan Religio Humanis sebagai dasar pijak pembentukan norma hukum negara pernah tercipta dalam pembentukan Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal sebagai UUPA. Pengakuan bahwa Bumi, Air, dan Kekayaan Alam adalah milik Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan. Gagasan religius ini menjelaskan relasi-relasi Ketuhanan bagi sebuah bangsa untuk mengendalikan segenap sumber daya agraria. Gagasan Humanis dalam pembentukan norma juga tampak dalam UUPA dengan menghadirkan konsep kepemilikan komunal atas tanah. Bahwa tanah bukanlah dikuasai secara mutlak, melainkan dikuasai Negara untuk dipergunakan demi kemakmuran rakyatnya. Tidak banyak produk norma lex positivis yang menghadirkan gagasan religio-humanis dalam konstruksi norma.
Pembangunan hukum yang berkarakter kapitalistik ataupun materialistik tentunya tertolak dalam sebuah negara berketuhanan ini. Gagasan kapitalisme yang meletakkan ruang kebebasan untuk meraih keuntungan materi berlipat tidak mungkin diterima di dalamnya. Ketika ia diterapkan sebagai produk norma yang mengikat, ia telah bertentangan dengan filosofische grondslag Pancasila yang meletakkan relasi Ketuhanan dan gagasan Kemanusiaan sebagai ontologinya. Dekonstruksi norma melalui terapan-terapan lex positivis akan bertentangan dengan ide dasarnya.
Epistemologi yang dibangun dan dikembangkan adalah melalui metode persatuan dan musyawarah. Metode ini bukanlah metode yang teralienasi dalam ruang hidup manusia Nusantara umumnya. Metodologi persatuan dan musyawarah melalui penerapan kecerdasan pengetahuan bagi setiap pelakunya (hikmah kebijaksanaan). Hal ini menunjukkan bahwa ide religio-humanis dijalankan melalui serangkaian metode, berupa kebersatuan dan musyawarah yang diliputi oleh kecerdasan (penuh hikmah), bukan atas kendali ego.
Tujuan akhir dari pembentukan konstruksi norma religio-humanis adalah penciptaan keadilan sosial, bukan individual dalam ranah aksiologis. Jika metode yang dikembangkan adalah persatuan, kebersamaan, dijalankan melalui musyawarah yang penuh kecerdasan (hikmah), maka tujuan akhirnya adalah keadilan sosial, bukan individual. Bahwa pencapaian keadilan itu dapat dirasakan secara menyeluruh terhadap setiap orang yang berpijak di tanah Nusantara.
Pencapaian tujuan dengan menciptakan keadilan dalam ruang sosial bagi semua jiwa Nusantara bukan hal mudah. Keragaman etnisitas, multikultur ras dan religi membutuhkan sebuah kecerdasan, untuk tujuan itulah maka metode musyawarah penuh hikmah yang diliputi oleh jiwa persatuan dijalankan. Mengingat bahwa kecerdasan meliputi proses relasi antar individu melalui musyawarah, maka jalan yang ditempuh adalah keterwakilan. Mewakilkan kehendak setiap orang di tangan orang yang memiliki kecerdasan.
Pada sisi yang bersamaan dunia yang saling terikat dipenuhi oleh relasi kapitalisme yang kuat dan mendominasi. Ia menggusur segenap ide-ide spiritual, mengeringkannya hingga ke dasar. Tak ada lagi spiritualisme hukum di dalamnya. Manusia yang semakin teralienasi oleh dunia yang ia bangun sendiri. Hukum yang diciptakan adalah berasal dari produksi nilai etik kapitalisme yang selalu diarahkan pada pembentukan keuntungan manusia secara berlipat dan optimal. Gagasan hukum seperti ini tentunya tidak lagi mampu melayani sekaligus menciptakan manusia yang beradab. Bahkan hukum berupaya menghilangkan sisi humanis manusia demi raihan pencapaian keuntungan optimal.
Mampukah kita kembali pada gagasan awal kita untuk membentuk manusia bertuhan sekaligus humanis sebagai bentuk perwujudan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorms?
Membangun sebuah sistem norma yang berorientasi kepada penciptaan konstruksi norma Religio-Humanis yaitu terapan ide-ide spiritual dan rasional manusia secara seimbang? Pembangunan hukum perlu diarahkan pada pembangunan norma-norma preskriptif Ketuhanan yang akan dijadikan acuan normatif dalam bertindak, serta pembangunan manusianya sekaligus. Pembangunan manusia berTuhan yang bergerak dengan penuh keadaban. Kita perlu membangun kembali kesadaran jiwa bangsa (volkgeist) berupa semangat spiritualisme kebangsaan dan rasionalitas manusia yang dulu pernah disemaikan oleh para Bapak Bangsa kita.
Penulis adalah Dosen Tetap Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia. Dosen tidak tetap pada STKIP Arrahmaniyah. Co-Founder Forum Internalaisasi Nilai-Nilai Kebangsaan (FORNIKA). Founder & Peneliti pada Islamadina Institute.