Syahadat, dalam bahasa Kejawen adalah Sasahidan Ingsun Sejati. Kata Sasahidan berasal dari bahasa Arab syahida atau syahadat, yang berarti Kesaksian atau pengakuan Iman. Bagi orang Islam tempo dulu, dua Kalimat Syahadat sering di sebut Kalimasada (Kalimat Syahadat) atau juga Sasahidan Taukid dan Sasahidan Rosul.
Sasahidan Taukid, ada juga mengucapkan Tokid yaitu :
أشهد أ لا إله إلا الله
"Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan 'yang Haq' selain Alloh"
Sedangkan Sasahidan Rosul, yaitu ;
Ùˆ أشهد أن Ù…Øمدا رسول الله
"Dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Alloh"
Selama ini, Syahadat umumnya hanya di pahami sebagai bentuk mengucapkan kata. Dan karena hanya pengucapan, wajar jika tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap mental manusia. Siapapun toh dapat mengucapkannya, walau kebanyakan tidak memahaminya. Padahal makna sesungguhnya syahadat adalah "Kesaksian" bukan "Pengucapan", Kalimat yang menyatakan bahwa ia telah bersaksi.
Ketika kita mengucapkan kata "الله" , maka kata ini harus hadir dan lahir dari keyakinan yang mendalam. Pada saat pengucapan, kita harus yakin bahwa Allah "ada" pada diri Nabi-nya, dan bahwa setiap diri kita mampu membawa peran Nabi tersebut. Dalam ma'rifat, nabi dan kenabian sebagai sesuatu hal yang selalu hidup. Dan ketika person nabi terakhir di beri nama "Muhammad", maka ia adalah langsung dari Nur dan Ruh Muhammad, dan menyandang nama spiritual sebagai "Ahmad". Dan ketika, kata "Ahmad" disebutkan, nabi Muhammad sering mengemukakan bahwa "Ana ahmad bila mim" (Aku adalah Ahmad yang tanpa mim), yakni "Ahad". Ketika suku bangsa Zhahir "Arab" disebutkan, beliau sering mengemukakan "Ana 'Arabun bila 'Ain" (aku adalah arab tanpa 'ain), yakni "Rabb". Inilah kesaksian itu, atau Syahadat.
Kalau kita membayangkan Nabi secara fisikal, maka kita akan menghayalkan tentang Nabi. Nah, pada saat Allah kita rasakan hadir atau bersemayam dalam diri Nabi yang berada di kedalaman lubuk hati kita, maka terlepaslah ucapan "Muhammad al-Rosul Allah" sebagai kesaksian. Lalu kesaksian ini kita lepaskan dalam Dzat Allah. Sehingga kemudian tercipta apa yang di sebut sebagai "Tunggal ing Alloh, hiya kang amuji hiya kang pinuji" (Kemanunggalan dengan Allah sehingga baik yang memuji dan di puji tidak dapat di pisahkan)
Kata sasahidan juga sering di pakai untuk mengawali Wirid Sifat 20 Gusti Alloh, sebagai penegasan pengakuan keimanan atas 20 sifat tersebut, "Asyhadu Allah kang tanpa wiwitan, tanpa wekasan, urip tan kena pati"(aku bersaksi bahwa Allah tidak bermula, dan tidak berakhir, lagi hidup kekal selamanya).
Dalam kitab "Wirid hidayat Jati", lahir ajaran untuk tidak menyebut ataupun memanggil asma Tuhan dengan Allah saja, tetapi di anjurkan menambah gelar yang amat sangat terhormat yaitu, Gusti, sehingga menjadi Gusti Alloh atau di tambahkan sebutan Pengeran di depan Asma Allah yang menunjukan sifat kebesarannya, misalkan Pengeran Kang Moho Agung.
Perihal Sasahidan, Serat "Wirid Hidayat Jati" mengajarkan dua seri wejangan, yaitu Wejangan Ketujuh yang berjudul Panetep Sentosaning Iman (Penetap Kesentosaan Iman) yang disebut di berikan oleh Sunan Gunung Jati dan Wejangan kedelapan atau Terakhir oleh Syekh Siti Jenar berjudul "Sasahidan" (Persaksian)
Di dalam Qiyas ajaran Poro Pandhito (dalam hal ini disebut Ulama), yang menyebar luaskan Nukilan dari Hadits Makdus, pada bab Maklumatul Huluhiyah. Isinya menegaskan Kesantosaan Iman, sebagai penuntun Tauhid menjadi Itikad. Juga menjadi cipta Sasmita. Rosulullah kangjeng Mukhammad yang disampaikan kepada Sayyidina Ngali sebagai berikut :
Ingsun anekseni ing dzatingsung dewe
(Aku bersaksi di hadapan Dzatku Sendiri)
Satuhune ora ono Pengeran amung ingsun
(Sesungguhnya tiada Tuhan selain Aku)
Lan nekseni satuhune Muhammad iku Utusan ingsun
(Dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku)
Iyo sejatine kang Aran Allah iku badan Ingsun
(Sesungguhnya yang disebut Allah itu badan-Ku)
Rosul iku Rahsa Ingsun
(Rosul itu Rahsa-Ku)
Muhammad iku cahaya Ingsun
(Muhammad itu Cahaya-Ku)
Iyo Ingsun kang urip tan keno pati
(Akulah yang hidup tidak terkena kematian)
Iyo Ingsun kang eling tan keno lali
(Akulah yang senantiasa ingat tanpa tersentuh lupa)
Iyo Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati
(Akulah yang kekal tanpa terkena perubahan di segala keadaan)
Iyo Ingsun kang Waskita ora kasmaran ing sawiji-wiji
(Akulah yang selalu mengawasi dan tidak ada sesuatupun yang luput dari pengawasan-Ku)
Iyo Ingsun kang amurbo amiseso, kang kawoso wicaksono ora kekurangan ing pakerti Byar
(Akulah yang maha Kuasa, yang bijaksana, tiada kekurangan dalam pengertian Byar)
Sampurna padhang trawangan
(Sempurna terang benderang)
Ora kerasa opo-opo
(Tidak terasa apa-apa)
Ora ono katon opo-opo
(Tidak melihat apa-apa)
Amung ingsun kang nglimputi ing alam kabeh kelawan kodratingsun
(Hanya aku yang meliputi seluruh alam dengan Kodrat-Ku)
Itulah makna hakekat Syahadat yang sesungguhnya dari sang Insan Kamil.
Wallahu a'lam