Dipercaya sebagai salah satu dari Wali Pitu atau tujuh ulama penyebar Islam di Pulau Bali, sangat minim catatan sejarah tentang sosok Habib Umar bin Yusuf Al-Maghribi atau Syekh Maulana Raden Hasan.
Sosoknya hanya terbentuk melalui penuturan lisan dari generasi ke generasi. Namun, jejaknya memang ada, berupa makam yang kini banyak diziarahi umat Islam.
Asal usul Habib Umar bin Yusuf Al-Maghribi tak terlacak sampai ke hulunya meskipun ia menyandang gelar habib.
Dari penuturan lisan yang bercampur dengan cerita-cerita rakyat Bali hanya disebutkan, sebelum sampai ke Bali, ia pernah bermukim dan menduduki posisi penting di suatu kerajaan di wilayah Jawa bagian barat di daerah Cibubur.
Ini terjadi sekitar abad ke-15 Masehi.
Setelah itu, Habib Umar berkelana ke arah timur Pulau Jawa. Ia kemudian disebut-sebut bermukim di Madura, dan menjadi salah seorang kepercayaan Raja dari kerajaan di Madura.
Mengingat pada masa-masa itu sudah terjalin hubungan antara raja-raja di Madura dengan raja-raja di Bali.
Suatu hari Habib Umar oleh seorang raja di Madura diutus ke Bali.
Tujuannya untuk mendakwahkan agama Islam di Pulau Dewata ini.
Entah bagaimana pengelanaan itu berlangsung, ia kemudian bermukim di kawasan hutan dan pegunungan Beratan yang sekarang berada di Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan.
Dulunya, konon, Beratan merupakan daerah yang sangat angker. Pusatnya makhluk halus atau makhluk jadi-jadian yang berperangai buruk, yang suka mengganggu dan mencelakai manusia atau warga sekitar.
Dengan ilmu dan kesaktiannya, Habib Umar berhasil menundukkan mereka. Setelah makhluk-makhluk halus dan makhluk jahat ditaklukkan, masyarakat hidup aman, tentram, dan damai.
Habib Umar kemudian mulai menjalankan misi dakwahnya, mengajarkan ajaran Islam di kalangan masyarakat setempat. Bahkan, Habib Umar bin Yusuf Al-Maghribi kemudian mendirikan Kerajaam Beratan, dan ia berdaulat sebagai Raja Beratan dengan gelar Syekh Maulana Raden Hasan.
Namun, seiring perjalanan waktu, kedamaian masyarakat Beratan mulai terusik oleh adanya fitnah dan adu domba. Dalam cerita-cerita rakyat tak disebutkan dari kelompok mana yang melakukan agitasi itu.
Mungkin dari lawan-lawan politik atau kekuatan dari daerah lain yang cemburu atau tak suka dengan keberhasilan dakwah Habib Umar bin Yusuf Al-Maghribi hingga ia menjadi seorang raja di situ. Akhirnya, Kerajaan Beratan pun gonjang-ganjing oleh fitnah dan hasutan.
Mendapat serangan seperti itu yang menyebabkan kerajaannya gonjang-ganjing, Syekh Maulana Raden Hasan meminta nasihat kepada raja di Madura yang mengutusnya. Ia disarankan untuk menyepi atau bersemedi atau bertirakat di Bukit Tapak yang ada di kawasan hutan Beratan.
Ia mengikuti saran tersebut, dan menuju ke Bukit Tapak diikuti oleh tiga orang kepercayaannya. Tapi, sepeninggal Syekh Maulana Raden Hasan itu, Kerajaan Beratan runtuh, dan ia tak pernah kembali.
Menurut cerita lisan masyarakat setempat, Syekh Maulana Raden Hasan bersama pengikutnya meninggal di Bukit Tapak tersebut. Bertahun-tahun, makamnya ditemukan oleh masyarakat setempat, yang kini dikenal sebagai Makam Keramat Bukit Tapak. Tak jauh dari situ juga ada danau yang kemudian disebut Danau Beratan.
Lokasi makam keramat ini berada di kawasan Kebun Raya Bedugul, Banjar Candikuning II, Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Karena itu, Syekh Maulana Raden Hasan juga sering disebut sebagai Wali Bedugul.
Di areal makam Habib Umar bin Yusuf Al-Maghribi juga telah dibangun beberapa unit bangunan, seperti:
◼️Tempat wudhu dan mushalla.
◼️Tempat istirahat, dan dapur.
Sejak puluhan tahun terakhir, banyak umat Islam yang berziarah ke makam Syekh Maulana Raden Hasan ini sebagai jejak dari salah satu Wali Pitu di Bali..
BUKU PENTING:
Yang mengulas tentang Wali Songo yang masih sangat terbatas dibaca adalah karya Syaikh Abul Fadhol Senori Tuban dengan judul asli Ahla al-Musamarah fi Hikayat al-Aulia’ al-Asyrah yang kemudian diterbitkan versi terjemah dengan judul: “Silsilah Sepuluh Wali Sebuah Perjuangan dan Islamisasi di Tanah Jawa”.
Mbah Fadal menulis kitab ini diniatkan untuk pelajaran dan pengingat bagi generasi mendatang. Menurut Mbah Fadal dalam pengantar kitab yang ditulis tahun 1381 H ini, mengetahui sejarah sangat penting bagi orang yang mau berfikir dan mengambil pelajaran dari umat terdahulu dan Allah SWT menyuruh kita untuk berjalan di penjuru bumi untuk memperhatikan bekas-bekas umat terdahulu. Buku ini mengulas tentang geneologi (silsilah) para penyebar Islam di Nusantara, meskipun jika dibaca oleh sebagian kelompok (Islam kanan) tidak akan sepakat dengan dalih terlalu menyederhanakan proses penyebaran Islam di Nusantara jika hanya mengkultuskan WALISONGO.
*والله اعلم بالصواب*